Dipojok sana, Daeng Anas asik mengaduk kopi diatas tungku membara.
Disebuah bilik kecil yg penuh dengan tulisan iklan rokok, dia sibuk mengaduk rebusan cairan kopi super panas dari beberapa teko.
Pria paruh baya ini adalah pemilik warung kopi disatu sudut Panakukang, namanya sama spt nama dia: "Warkop Dg.Anas".
Apa yg membuat warkop ini istimewa?
Kata beberapa teman, disini terasa nikmat karena 3 hal penting, yakni:
bahan kopi yg ditaruh disana, cara merebusnya, dan cara mengaduknya. Kenikmatan kopi disini, katanya nonjok abis. Bukan cuma soal nikmat, tapi disini harganya juga merakyat.
Klop kan.
Seorang teman menambahkan, hampir semua warkop sukses di Makasar yang dimiliki oleh warga asli bugis dan Makasar, mereka rata rata adalah jebolan dari "Warkop Doktor".
Dulunya mereka adalah juru racik-seduh di Warkop Doktor, lantas setelah mentas alias resign, mereka membuat warkop swadaya dg ilmu yg didapat selama berguru di Warkop Doktor.
Hmmm.. menarik juga cerita itu. Ternyata, diusut kebelakang, diyakini jika semua "jago peracik" bersumber dari sebuah tempat yg sama. Jika kita berpikir ini seperti memelihara ikan Koi, ini bisa disebut bahwa "strain" nya sama. Karena jebolan dari "satu perguruan silat" yg sama, dus dipastikan bahan baku dan rasanya hampir mirip. Bahwa kemudian warkop para alumnus itu laris manis, maka ini bukti absah atas selera komunal warga setempat bahwa mereka mmg menyukai seduhan kopi dengan taste semacam itu.
Sayang pembicaraan ttg Warkop Doktor ini terputus karena teman tsb harus bergegas pergi.
Saya sebetulnya masih penasaran dengan asal muasal nama "Doktor" tsb. Selintas ada yg bilang disana disebut "doktor" karena seduhan kopinya begitu istimewa. Disitulah "Doktornya Kopi" di Makasar bercokol dimarkasnya. Fanatik kopi pasti akan datang dimana pembuat kopi terbaik berada. Wuih wuih, mirip cerita perguruan silat saja. Hehehe.
Diluar "garis keturunan warkop doktor", masih ada warkop tandingan lain yg dimiliki oleh non Bugis Makasar, yakni kelompok warkop Phoenam yg lahir dari warga keturunan tionghwa.
Mereka secara bisnis jelas lebih modern. Brand ini sengaja dibuat dalam bentuk franchise dan menyebar dibeberapa wilayah di Makasar sendiri atau dikota lain. Phoenam mengisi kelas sosial menengah untuk peminat kopi sejati dengan menjanjikan rasa standar yang lezat. Phoenam sukses, terbukti sejak 1946 ia tetap bisa bertahan ditengah serbuan minuman kaleng lokal dan import. Sayang, mereka tersebar tapi eksklusif, "ilmunya" hanya berputar dikalangan mereka sendiri. Jebolan dari mereka belum terdengar sukses meneruskan tradisi seperti alumnus warkop doktor.
Uniknya, konsumen warkop doktor dan phoenam tetap mempunyai satu wilayah tegas terpisah. Ini seperti punya "dua kartu AS" bahwa jika ngopi di Phoenam maka akan mendapat "ini". Dan jika ngopi di Warkop Doktor akan memperoleh rasa "itu". Keduanya jelas beda dalam banyak hal, walaupun sama sama menyeruput kopi.
Hanya satu yg sama, yakni keduanya tumbuh dalam tradisi panjang kopi Toraja di Sulsel.
Okelah secara gampangnya kita sebut saja, bahwa Makasar banyak tersebar warkop.
Apa bedanya, toh ngopi juga di warkop kan?
Teman langsung menyergahnya. Katanya, anggapan itu salah. Warkop satu dengan lainnya beda, dan itu membuat rasa kopinya juga beda. Dia mengatakan itu sambil melewati "Kopi Zone", salah satu kedai kopi di Panakukang.
Kata dia, "Kopi Zone" bukan tumbuh dalam tradisi kopi Sulsel, atau pantasnya disebut sebagai pendatang yg membuat warkop. Karena itu rasanya beda dengan selera warkop yg
sudah sejak lama eksis disini. Warkop Doktor, Phoenam, Warkop Dg Anas adalah salah satu bentuk konkret citarasa asli sulsel, sedangkan ada juga kelompok lain yang membuat kedai kopi tapi rasanya tetap "bukan rasa sulsel".
Hahaha... menarik juga. Mirip DVD bajakan, biarpun gambarnya bagus juga toh itu tetap "bajakan". Namun kopi tetaplah kopi. Hidangan enak dan nikmat untuk diseruput.
Ini bukan matematika kompleks. Kita bicara tentang rasa dan kenikmatan menyeruput itu dilidah. Siapapun yg jual, tak ada salahnya dicoba. Toh masing masing manusia punya lidah beda. Dan tidak ada salahnya mencicipi "rasa sulsel", atau "bukan sulsel" dilain kesempatan.
Satu hal yang tidak didebatkan oleh siapapun:
disini di Sulsel, menyeruput kopi adalah sebuah kebiasaan sehari hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN KOMENTAR